Beranda | Artikel
Tak Ada Sholat Saat Makanan Telah Dihidangkan?
Senin, 5 Maret 2018

Makna Hadits:
Tak Ada Sholat Saat Makanan Telah Dihidangkan

Oleh: Ustadz Ahmad Anshori Lc
(Pengasuh PP. Hamalatul Quran, DIY)

Bismillah..

Ibunda Aisyah radhiyallahu’anha pernah menyampaikan sebuah nasehat yang beliau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim no. 560).

Sebelum kita menyinggung hukum fikih berkaitan hadis ini, perlu kita tahu bahwa hadis yang mulia ini diantara dalil yang menunjukkan sholat adalah ibadah yang sangat istimewa. Karena sebelum melakukan sholat, syariat memerintahkan segala hal yang dapat mengganggu kekhusyu’an sholat, hendaklah ditanggalkan terlebih dahulu.

Seorang sholat dalam keadaan lapar, dan makanan sudah tersaji, tentu dia sangat sulit meraih khusyu’. Oleh karenanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan pada hadis di atas,

“Tak ada sholat ketika makanan telah dihidangkan..”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan,

أن لب الصلاة وروح الصلاة هو حضور القلب، ولذلك أمر النبي صلى الله عليه وسلم بإزالة كل ما يحول دون ذلك قبل أن يدخل الإنسان في صلاته.

Inti dan ruhnya sholat adalah hadirnya hati. Oleh karena itu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghilangkan segala hal yang dapat menghalangi kehadiran hati saat sholat, sebelum seorang melakukan sholatnya. (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 13/296)

Apa makna peniadaan di sini? yaitu pada teks hadis, “Tak ada sholat ketika makanan telah dihidangkan..”

Ada sejumlah penafsiran ulama terkait makna peniadaan pada hadis di atas. Mazhab Dzahiri mengambil kesimpulan, hadis ini menunjukkan tidak sahnya sholat seorang dalam keadaan lapar dan makanan telah dihidangkan.

Namun, penafsiran yang tepat –wallahua’alam-, peniadaan sholat pada hadis di atas, bukan peniadaan keabsahan (wujud), akantetapi yang dimaksudkan adalah peniadaan kesempurnaan, artinya sholatnya tidak sempurna. Inilah penafsiran mayoritas ulama.

Sehingga sholat saat makanan sudah terhidang serta kondisi petut lapar, hukumnya adalah makruh, artinya sebatas mengurangi kesempurnaan, bukan tidak sah.

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan,

فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع

Hadis-hadis ini menunjukkan, makruhnya melakukan sholat saat makanan sudah terhidang sementara dia berkeinginan untuk menyantapnya. Karena hal tersebut dapat menyibukkan hati dan dapat menghilangkan kekusyuan sholat. (Syarh Shahiih Muslim, 5/46).

Ada hadis di atas semakna dengan hadis di atas,

لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

“Tidak ada iman bagi orang yang tidak Amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.” (HR. Ahmad)

Maksudnya, peniadaan pada hadis ini adalah peniadaan iman yang sempurna, bukan peniadaan wujud iman. Artinya, orang yang tidak amanah dan tidak bisa dipegang janjinya, tidak lantas menjadi kafir. Namun kualitas imannya yang berkurang.

Dalam kitab Faidhul Qodir, Al-Munawi rahimahullah mengambil kesimpulan menarik,

وفيه تقديم فضيلة حضور القلب على فضيلة أول الوقت

Hadis ini menunjukkan, mengejar keutamaan hadirnya hati saat sholat (kyusu’), lebih didahulukan daripada mengejar fadhilah sholat di awal waktu. (Faidhul Qodir, 6/430).

Seandainya kita menemui masalah, antara mengikuti sholat jamaah atau makan atau buang hajat terlebih dahulu, maka dahulukan makan dan buang hajat, meski harus terluput dari sholat berjama’ah. Karena dia memilki uzur.

(lihat : Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 13/298).

Kapan Seorang Dianjurkan Mendahulukan Makan daripada Sholat?

Dari hadis Ibunda Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang diperintahkan mendahulukan makan daripada sholat, bila terpenuhi syarat-syarat berikut :

Pertama, makanan telah tersaji.

Kedua, lapar atau ada hasrat kuat untuk makan.

Ketiga, mampu memakannya, baik secara tabiat maupun syariat.

Jika makanan belum terhidang, sementara perut merasakan lapar, maka tidak boleh mendahulukan makan daripada sholat. Karena bila tidak kita katakan demikian, orang-orang miskin dituntut mengakhirkan sholatnya terus-menerus. Karena mereka seringkali merasakan lapar.

Demikian pula andaikan makanan sudah tersaji, akantetapi tidak lapar, maka tidak boleh mendahulukan makan. Tidak makruh hukumnya mendahulukan sholat bila kondisinya seperti ini.

Atau makanan sudah terhidang, dia merasa lapar, namun dia tak mampu menyantapnya karena ada penghalang yang sifatnya tabi’at dan syariat.

Tabi’at misalnya, makanan masih sangat panas. Atau makanan sangat pedas, sementara perut tidak kuat dengan makanan-makanan pedas.

Syariat misalnya, puasa. Orang yang puasa tentu merasakan lapar. Seandainya waktu adzan asar, hidangan buka puasa sudah tersaji, maka tetap mengutamakan sholat asar berjamaah, bukan menunggu tiba waktu buka baru sholat, kemudian beralasan dengan hadis di atas.

(Lihat penjelasannya di : Syarah Al-Mumti’, Ibnu ‘Utsamin, 3/237-238).

Demikian. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca sekalian.

Wallahua’alam bis showab.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/31301-tak-ada-sholat-saat-makanan-telah-dihidangkan.html